Senin, 17 Oktober 2011

Batik Surabaya

Batik Suroboyo, sekilas memang tidak berbeda dengan batik kebanyakan seperti batik Madura atau Batik Kenongo asal Sidoarjo. Pada dasarnya batik, sejauh itu batik tulis yang dikerjakan langsung oleh tangan-tangan terampil relatif sama. Namun bila kita mau lebih detil mencermatinya, maka akan tampak perbedaannya.
Semula yang membantu Hj. Putu Sulistiani Prabowo dalam membatik hanya dua orang pembatik dan satu orang untuk pewarnaan. ”Pada mulanya lumayan juga, satu bulan bisa menghasilkan 5 potong kain batik,” kisahnya pada Eastjava Traveler, ketika ditemui di galeri yang merangkap workshopnya.
Kini karyawannya sudah berjumlah 15 orang. Dan kain batik yang mampu dihasilkan bisa mencapai 30 potong dalam satu bulan. Proses pembatikan di workshopnya asli dilakukan oleh tangan terampil (handmade) tergantung tingkat kerumitannya, tapi paling lama memakan waktu dua minggu.
Proses pembuatan sama dengan batik kebanyakan, mulai dari bahan dasar kain yang diberi kanji, digambar, di batik dan seterusnya. Untuk pewarnaan, aku Putu, masih menggunakan pewarna sintetis, konon mulai mencoba menggunakan pewarna alam. Menggunakan pewarna sintetis semata demi mengikuti keinginan pasar yang cenderung lebih suka warna-warna yang bright.
”Bahan juga menjadi salah satu media kreasi, selain pada motif,” ungkap ketua IKASFI (Ikatan Keluarga Sarjana Farmasi Indonesia, Red) Jatim ini. Kini bahan yang digunakan tidak hanya kain katun, tetapi juga kain tenun. Beberapa bahan tenun lain seperti yang berbahan serat kayu atau pelepah pisang juga digunakan. ”Ternyata hasilnya juga bagus, banyak yang suka,” tegasnya.
Putu mengaku, produknya banyak diserap pasar terutama pada ajang-ajang pameran, atau bila ada kunjungan tamu dari luar daerah. Kini produk batiknya makin diorientasikan pada pemenuhan pasar, seiring makin banyak pesanan yang datang. ”Ajang pameran masih saya anggap paling baik untuk pemasaran,” tambahnya. Beberapa pameran yang pernah diikuti di Jakarta, Batam, China, dan Lombok, selain di Surabaya sendiri.
Dewan Kerajinan Nasional Daerah (DEKRANASDA) Kota Surabaya turut memfasilitasi, ”Dalam hal ini Ibu Wawali sebagai ketua, turut memberi dukungan dalam hal promosi,” tuturnya. Bahkan Walikota juga kerap berkunjung ke galeri Dewi Saraswati di jalan Jemursari Utara II/19 itu.
Ragam produk yang dihasilkan berupa kain panjang/selendang, bahan hem/baju pria, syal dan scraft. Dan harga Batik Suroboyo juga variatif, untuk bahan katun sekitar Rp. 400 ribu. Sedangkan yang berbahan sutra harganya di kisaran Rp. 3 juta.
Saat ditanya hal pemasaran, kata Putu, masih ditangani sendiri. Ditanya adakah keinginan untuk memperluas jaring pemasarannya ke daerah lain, Putu menjawab, niat ke arah sana sudah ada. Terlebih datangnya beberapa tawaran dari beberapa relasi untuk menjadi perpanjangan jalur pemasaran seperti di daerah Bali dan Jakarta.
Putu masih lebih yakin menggunakan satu gerai di galerinya sebagai satu-satunya konter Batik Suroboyo. Alasannya untuk tetap menjaga eksklusifitas produknya. Di galerinya ini, pengunjung bisa langsung melihat proses pembuatan batik, diharapkan lebih meyakinkan batik itu karya tangan terampil (handmade). Menurut Putu, hal ini bisa juga menjadi alternatif jujukan wisata di Surabaya.
Mencermati persaingan; yang melatarinya menekuni batik adalah pemikiran batik itu ibarat karya seni, seperti lukisan. Dimana sang perajin bisa berekspresi seperti pada motif, warna, dan bahan. Dari sana muncul keyakinan dia masih punya peluang. Tentu saja dengan terus belajar dan membaca selera pasar agar mampu bersaing

http://pusakanesia.blogspot.com/2007/07/batik-suroboyo_15.htmlSumber: 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar