Selasa, 18 Oktober 2011

Jenis-jenis batik

Jenis batik

Menurut teknik

  • Batik tulis adalah kain yang dihias dengan teksture dan corak batik menggunakan tangan. Pembuatan batik jenis ini memakan waktu kurang lebih 2-3 bulan.
  • Batik cap adalah kain yang dihias dengan teksture dan corak batik yang dibentuk dengan cap (biasanya terbuat dari tembaga). Proses pembuatan batik jenis ini membutuhkan waktu kurang lebih 2-3 hari.
  • batik saring,
  • batik celup,
  • batik terap.

Menurut asal pembuatan

Batik Jawa

Batik Jawa adalah sebuah warisan kesenian budaya orang Indonesia, khususnya daerah Jawa yang dikuasai orang Jawa dari turun temurun. Batik Jawa mempunya motif-motif yang berbeda-beda. Perbedaan motif ini biasa terjadi dikarnakan motif-motif itu mempunyai makna, maksudnya bukan hanya sebuah gambar akan tetapi mengandung makna yang mereka dapat dari leluhur mereka, yaitu penganut agama animisme, dinamisme atau Hindu dan Buddha. Batik jawa banyak berkembang di daerah Solo atau yang biasa disebut dengan batik Solo.

Batik Tiga Negeri Batik Jawa Hokokai 1942-1945 Batik Buketan

Batik Buketan asal Pekalongan dengan desain pengaruh Eropa Batik Lasem
  • Batik Tiga Negeri dikenal lewat warnanya yang terdiri dari tiga bagian. Ada biru, coklat/sogan, dan merah. Batik ini kadang dikenal sebagai Batik Bang-Biru atau Bang-Bangan untuk variasi warna yang lebih sederhana. Ada yang mengatakan kalau pembuatan batik ini dilakukan di tiga tempat yang berbeda. Biru di Pekalongan, Merah di Lasem, dan Sogan di Solo. Sampai sekarang kerumitan detail Batik Tiga Negeri sukar sekali direproduksi. Batik.
  • Batik Jawa Hokokai. Dibuat dengan teknik tulis semasa pendudukan Jepang di Jawa (1942-1945). Ia berupa kain panjang yang dipola pagi/sore (dua corak dalam satu kain) sebagai solusi kekurangan bahan baku kain katun di masa itu. Ciri lain yang mudah dikenali adalah pada motifnya. Motif kupu-kupu, bunga krisan, dan detail yang bertumpuk menjadikan Batik Jawa Hokokai menempati posisi karya seni yang mulia. Batik jenis Jawa Hokokai biasanya dikerjakan oleh lebih dari 10 orang yang masing-masing memegang peran proses pembatikan yang berbeda. Sistem padat karya seperti ini juga memungkinkan para pekerja di industri batik tidak di PHK. Kemiskinan dan kesulitan akibat Perdang Dunia ke-II nyata-nyata memengaruhi seni Batik di Indonesia.
  • Batik Buketan. Batik Indonesia dengan desain pengaruh Eropa.
  • Batik Buketan asal Pekalongan dengan desain pengaruh Eropa. Batik Indonesia yang dengan desain pengaruh Eropa.
  • Batik Lasem. Batik Lasem dikenal karena warna merahnya yang khas. Di Lasem (Jawa Timur) sendiri, pengrajin batik sudah sangat berkurang. Beberapa kolektor menyebut Batik Lasem adalah batik yang tercantik diantara yang lain. Batik ini juga menjadi penanda pencampuran dua budaya, Jawa dan Cina.
     
    http://batikmaluku.blogspot.com/

Batik Magelang

Di halaman samping rumah bercat orange di tepi jalan Magelang-Jogja, ternyata ada beberapa gazebo berbentuk Joglo yang digunakan sebagai tempat belajar baik membatik, melukis maupun kaligrafi untuk anak-anak. Ketika kemarin sore saya berkunjung ke sana, tercium aroma malam yang khas dan menyengat hidung. Ternyata ada puluhan anak-anak perempuan yang ternyata adalah siswa-siswi dari SMK 1 Tempel, Sleman, Jogjakarta yang sedang melakukan kegiatan ekstrakurikuler membuat batik tulis.
Mereka asyik memainkan canting untuk nyiduk malam dan kemudian mencoretkannya diselembar kain yang ada di depan mereka. Di bagian lain ada yang membuat gambar pola batik dengan menggunakan pensil, serta ada pula yang memberikan pewarnaan.
Itulah yang terjadi pada Jum’at sore (5/3/2010) di sebuah sanggar belajar batik di tepi jalan perbatasan Magelang-Jogja. Setiap kali saya melewati jalanan Magelang-Jogja, tepatnya di daerah Salam, sebenarnya saya sudah sering membaca tulisan di papan nama yang menyebutkan bahwa tempat itu merupakan tempat belajar membatik dan membuat kaligrafi.
Namun baru Jum’at kemarin saya berkesempatan memasuki area tersebut. Meski sebenarnya rumah itu adalah rumah seorang teman yang hampir tiap hari ketemu karena memang satu kantor.
Selama ini memang rumah tersebut digunakan sebagai sebuah sekretariat sebuah organisasi yang bernama FORNAMA (Forum Nahdliyin Magelang). Sebuah organisasi nirlaba yang banyak memberikan perhatian terhadap pendidikan anak-anak melalui program beasiswa dan pengembangan ketrampilan non akademis. Salah satunya adalah ketrampilan membatik tersebut. Menurut, Bapak Soedarto, Ketua FORNAMA sekaligus pemilik rumah, ini (aktivitas belajar membatik) belum lama dilaksanakan, saat ini baru bekerja sama SMK N 1 Tempel Sleman tersebut untuk mewadahi dan mengembangkan minat-bakat siswa. Disini juga disediakan guru khusus yang memiliki kemapuan membatik, bukan dari Solo atau Jogja melainkan orang asli Magelang yang pernah nyantrik mbatik. Selain belajar membuat gambar motif dan menorehkan malam diatas kain, juga belajar bagaimana memberikan pewarnaan dan juga diajarkan bagaimana “ngunci” warna agar tidak larut ketika dicuci atau dilorot
Motif batik yang diajarkan memang lebih cenderung motif Jogja klasik. Magelang sendiri memang selama ini belum banyak tergali apakah memiliki motif batik khas atau tidak sebab secara geografis dan geopolitik, dulunya kawasan Magelang dan Kedu Raya memang wilayah kekuasaan kerajaan-kerajaan yang berbasis di Jogja, seperti Mataram Kuno maupun Mataram Islam.
Bagi sampeyan-sampeyan yang tertarik belajar atau berkunjung ke sanggar pasinaon batik Magelang ini bisa langsung meluncur ke sana karena tempatnya mudah ditemukan di Jalan Magelang-Jogja kawasan Kec. Salam Magelang atau bisa ngontak saya dan saya akan antarkan ke sana tanpa saya pungut biaya serupiah pun. Tapi kalo pun mau ngasih saya juga nggak nolak…

http://kaumbiasa.com/sanggar-pasinaon-batik-magelang.php

Batik Malang

Sebagai salah satu identitas daerah, batik mencerminkan karakter dan kewibawaan daerah tersebut. Seperti di Malang, penelitian identitas batik sudah sering dilakukan, tapi belum mendapat titik terang gambaran yang dapat diterima semua pihak, karena masing-masing daerah mempunyai keterkaitan emosi karakter, sejarah dan kepercayaan. Kita mencoba mengambil satu dasar bahasan dari batik khas pedalaman Malang yang telah dipakai dalam upacara adat sejak sebelum tahun 1900-an. Batik tersebut selalu mempunyai motif: Sido Mukti Malang dengan hiasan kotak putih di tengah yang biasa disebut Modhang Koro. Motif ini dipakai sebagai udheng (laki-laki) dan sewek (perempuan) dalam acara resmi untuk semua lapisan masyarakat. Motif yang selalu muncul, antara lain, Sawat Kembang Pring (motif bambu jawa sakbarong), Dele Kecer (hijau-merah), Kembang Kopi (gambar kopi dibelah dua berwarna hitam), Kembang Juwet (biru-hijau), Kembang Tanjung (kuning-sawo matang, bentuk bunga bulat tengah pinggir bergerigi), Kembang Jeruk (coklat), Kembang Manggar (putih-kuning), Kembang Mayang (merah-kuning), dan Kembang Padma (teratai) (Karimun, 2007).
Sedangkan di Kota Malang, inisiatif penggalian motif batik telah dipelopori oleh Ketua Penggerak PKK dengan SK no: 114/POKJA III/PKK.KMVII/2007 yang menunjuk 3 tim ahli untuk menyerap aspirasi masyarakat lewat lomba desain batik (5 besar) sekaligus melakukan penggalian sejarah dan budaya setempat, sehingga diharapkan di Kota Malang akan mempunyai batik khas Kota Malang yang mampu menyuarakan wajah Kota Malang secara utuh di masa mendatang. Dengan terus berusaha menggali dan memelihara budaya asli dari setiap daerah, maka identitas budaya aslihttp://ksupointer.com/batik-malang Indonesia dapat kita lestarikan.

http://ksupointer.com/batik-malang

Senin, 17 Oktober 2011

Batik Madura

Pembatik MaduraTernyata, Pulau Madura tak hanya tersohor dengan karapan sapi dan garamnya. Wilayah yang termasuk Provinsi Jawa Timur ini juga terkenal sebagai penghasil batik. Bahkan, produk batiknya memiliki ragam warna dan motif yang tidak kalah dengan produksi daerah lain. Maklum, batik Madura menggunakan pewarna alami sehingga warnanya cukup mencolok.
Namun, tak perlu repot-repot ke Pulau Madura. Keunggulan produk batik Madura itu dapat dilihat di Museum Tekstil di Jalan K.S. Tubun Nomor 4, Jakarta Barat. Salah satu contohnya kain batik buatan tahun 1930. Kain panjang yang biasa digunakan pada acara khitanan ini merupakan salah satu kain kuno yang ditampilkan dalam Pameran Batik Madura di Museum Tekstil, belum lama berselang.
Kendati sudah berumur 75 tahun, warna dari kain itu justru kian menonjol. Pewarnaan kain Madura yang menggunakan bahan alami dari tumbuh-tumbuhan, seperti kayu jambal, kulit buah jelawe, akar mengkudu, yang membuat kain ini semakin menarik untuk dilihat. Kain-kain itu dibuat melalui proses pembatikan dengan tangan dalam rentang waktu antara delapan bulan hingga satu tahun.
Selain warna yang mencolok, seperti kuning, merah atau hijau, batik Madura juga memiliki perbendaharaan motif yang beragam. Misalnya, pucuk tombak, belah ketupat, dan rajut. Bahkan, ada sejumlah motif mengangkat aneka flora dan fauna yang ada dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Madura.

Sumber: http://icanxkecil.wordpress.com/batik-madura/

Batik Surabaya

Batik Suroboyo, sekilas memang tidak berbeda dengan batik kebanyakan seperti batik Madura atau Batik Kenongo asal Sidoarjo. Pada dasarnya batik, sejauh itu batik tulis yang dikerjakan langsung oleh tangan-tangan terampil relatif sama. Namun bila kita mau lebih detil mencermatinya, maka akan tampak perbedaannya.
Semula yang membantu Hj. Putu Sulistiani Prabowo dalam membatik hanya dua orang pembatik dan satu orang untuk pewarnaan. ”Pada mulanya lumayan juga, satu bulan bisa menghasilkan 5 potong kain batik,” kisahnya pada Eastjava Traveler, ketika ditemui di galeri yang merangkap workshopnya.
Kini karyawannya sudah berjumlah 15 orang. Dan kain batik yang mampu dihasilkan bisa mencapai 30 potong dalam satu bulan. Proses pembatikan di workshopnya asli dilakukan oleh tangan terampil (handmade) tergantung tingkat kerumitannya, tapi paling lama memakan waktu dua minggu.
Proses pembuatan sama dengan batik kebanyakan, mulai dari bahan dasar kain yang diberi kanji, digambar, di batik dan seterusnya. Untuk pewarnaan, aku Putu, masih menggunakan pewarna sintetis, konon mulai mencoba menggunakan pewarna alam. Menggunakan pewarna sintetis semata demi mengikuti keinginan pasar yang cenderung lebih suka warna-warna yang bright.
”Bahan juga menjadi salah satu media kreasi, selain pada motif,” ungkap ketua IKASFI (Ikatan Keluarga Sarjana Farmasi Indonesia, Red) Jatim ini. Kini bahan yang digunakan tidak hanya kain katun, tetapi juga kain tenun. Beberapa bahan tenun lain seperti yang berbahan serat kayu atau pelepah pisang juga digunakan. ”Ternyata hasilnya juga bagus, banyak yang suka,” tegasnya.
Putu mengaku, produknya banyak diserap pasar terutama pada ajang-ajang pameran, atau bila ada kunjungan tamu dari luar daerah. Kini produk batiknya makin diorientasikan pada pemenuhan pasar, seiring makin banyak pesanan yang datang. ”Ajang pameran masih saya anggap paling baik untuk pemasaran,” tambahnya. Beberapa pameran yang pernah diikuti di Jakarta, Batam, China, dan Lombok, selain di Surabaya sendiri.
Dewan Kerajinan Nasional Daerah (DEKRANASDA) Kota Surabaya turut memfasilitasi, ”Dalam hal ini Ibu Wawali sebagai ketua, turut memberi dukungan dalam hal promosi,” tuturnya. Bahkan Walikota juga kerap berkunjung ke galeri Dewi Saraswati di jalan Jemursari Utara II/19 itu.
Ragam produk yang dihasilkan berupa kain panjang/selendang, bahan hem/baju pria, syal dan scraft. Dan harga Batik Suroboyo juga variatif, untuk bahan katun sekitar Rp. 400 ribu. Sedangkan yang berbahan sutra harganya di kisaran Rp. 3 juta.
Saat ditanya hal pemasaran, kata Putu, masih ditangani sendiri. Ditanya adakah keinginan untuk memperluas jaring pemasarannya ke daerah lain, Putu menjawab, niat ke arah sana sudah ada. Terlebih datangnya beberapa tawaran dari beberapa relasi untuk menjadi perpanjangan jalur pemasaran seperti di daerah Bali dan Jakarta.
Putu masih lebih yakin menggunakan satu gerai di galerinya sebagai satu-satunya konter Batik Suroboyo. Alasannya untuk tetap menjaga eksklusifitas produknya. Di galerinya ini, pengunjung bisa langsung melihat proses pembuatan batik, diharapkan lebih meyakinkan batik itu karya tangan terampil (handmade). Menurut Putu, hal ini bisa juga menjadi alternatif jujukan wisata di Surabaya.
Mencermati persaingan; yang melatarinya menekuni batik adalah pemikiran batik itu ibarat karya seni, seperti lukisan. Dimana sang perajin bisa berekspresi seperti pada motif, warna, dan bahan. Dari sana muncul keyakinan dia masih punya peluang. Tentu saja dengan terus belajar dan membaca selera pasar agar mampu bersaing

http://pusakanesia.blogspot.com/2007/07/batik-suroboyo_15.htmlSumber: 

Batik Kaltim dan Batik Shaho

Bermula dari keterampilan menyablon yang didapat dari sebuah pelatihan yang diselenggarakan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Balikpapan, usaha batik Shaho mulai didirikan dan dikembangkan dengan serius oleh Pak Tono bersama keluarga sejak tahun 1900.
Motif batik yang dikreasikan pak Tono dan keluarga ini kebanyakan mengambil motif dayak Kenyah, terutama motif-motif tumbuhan yang kerap ditemui di ukiran suku Dayak Kenyah.
Motif yang menunjukkan binatang atau manusia memang sengaja dihindari karena alasan religius yang dipegang keluarga ini.
Meski sempat nyaris bangkrut ketika krisis moneter melanda Indonesia di tahun 1998, usaha ini selalu bangkit dan berkembang hingga sekarang. Batik Shaho juga dirintis melalui usaha kursus batik untuk masyarakat umum. Banyak dari muridnya merupakan golongan ekspatriat yang tidak pernah segan membayar lebih mahal dari biasanya.
Cap Batik Shaho Perbedaan tarif kursus antara murid dari kalangan ekspatriat dan pribumi bisa sangat jauh. Bila tarif kursus untuk pribumi hanya Rp,50,000,00, tarif untuk kalangan ekspatriatnya bisa mencapai Rp,500,000,00 per orang. Untuk pembelian kain batiknya pun juga begitu. Pak Tono sendiri mengatakan, bahwa orang asing justru lebih menghargai kesenian lokal.
Batik Shaho tidak hanya menjual jenis batik tulis saja. Untuk pemesanan yang menginginkan harga murah dan proses pembuatan yang cepat, batik dapat dibuat dengan metode batik cap. Namun dari segi hasil jelas berbeda. Batik cap lebih mudah luntur dibanding batik tulis.

http://www.indonesiabox.com/belanja-sekaligus-kursus-batik-kaltim-di-batik-shaho/

Batik Jambi

Batik biasa kita tau kebanyakan berasal dari pulau Jawa. Namun sesungguhnya seni batik itu tak hanya berada di pulau Jawa saja, beberapa daerah di Sumatera pun juga memiliki seni batik tersendiri. Ini terbukti banyaknya hasil batik yang di hasilkan dari Jambi, baik buatan pabrik maupun produksi rumah tangga. Produk batik dapat berkembang hingga sampai pada suatu tingkatan yang membanggakan baik desain maupun prosesnya. Begitu pula dengan batik yang ada tumbuh dan berkembang di daerah Jambi.Pada zaman dahulu batik Jambi hanya dipakai sebagai pakaian adat bagi kaum bangsawan/raja Melayu Jambi. Hal ini berawal pada tahun 1875, Haji Muhibat beserta keluarga datang dari Jawa Tengah untuk menetap di Jambi dan memperkenalkan pengolahan batik. Motif batik yang diterapkan pada waktu itu berupa motif – motif ragam hias seperti terlihat pada ukiran rumah adat Jambi dan pada pakaian pengantin, motif ini masih dalam jumlah yang terbatas. Penggunaan motif batik Jambi, pada dasarnya sejak dahulu tidak dikaitkan dengan pembagian kasta menurut adat, namun sebagai produk yang masih eksklusif pemakaiannya dan masih terbatas di lingkungan istana.
Dengan berkembangnya waktu, motif yang dipakai oleh para raja dan keluarganya saat ini tidak dilarang digunakan oleh rakyat biasa. Keadaan ini menambah pesatnya permintaan akan kain batik sehingga berkembanglah industri kecil rumah tangga yang mengelola batik secara sederhana.
Perkembangan batik sempat terputus beberapa tahun, dan pertengahan tahun 70-an ditemukan beberapa lembar batik kuno yang dimiliki oleh salah seorang pengusaha wanita “Ibu Ratu Mas Hadijah” dan dari sanalah batik Jambi mulai digalakkan kembali pengembangannya. Salah seorang ibu yang turut juga membantu perkembangan pembatikan di Jambi adalah Ibu Zainab dan Ibu Asmah yang mempunyai keterampilan membatik di Seberang Kota.
Pada mulanya pewarnaan batik Jambi masih menggunakan bahan-bahan alami dari tumbuh-tumbuhan yang terdapat di dalam hutan daerah Jambi, seperti :
  1. Kayu Sepang menghasilkan warna kuning kemerahan.
  2. Kayu Ramelang menghasilkan warna merah kecokelatan.
  3. Kayu Lambato menghasilkan warna kuning.
  4. Kayu Nilo menghasilkan warna biru.
Warna-warna tersebut merupakan warna tradisional batik Jambi, yang mempunyai daya pesona khas yang berbeda dari pewarna kimia.

http://www.indonesiabox.com/batik-jambi/

Batik Solo

Sejarah pembatikan di Indonesia berkait erat dengan perkembangan kerajaan Majapahit dan penyebaran ajaran Islam di Tanah Jawa. Dalam beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa kerajaan Mataram, kemudian pada masa kerjaan Solo dan Yogyakarta.
Jadi kesenian batik ini di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerjaan Majapahit dan terus berkembang kepada kerajaan dan raja-raja berikutnya. Adapun mulai meluasnya kesenian batik ini menjadi milik rakyat Indonesia dan khususnya suku Jawa ialah setelah akhir abad ke-XVIII atau awal abad ke-XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad ke-XX dan batik cap dikenal baru setelah perang dunia kesatu habis atau sekitar tahun 1920. Adapun kaitan dengan penyebaran ajaran Islam. Banyak daerah-daerah pusat perbatikan di Jawa adalah daerah-daerah santri dan kemudian Batik menjadi alat perjaungan ekonomi oleh tokoh-tokoh pedangan Muslim melawan perekonomian Belanda.
Kesenian batik adalah kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluaga raja-raja Indonesia zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam kraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena banyak dari pengikut raja yang tinggal diluar kraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar kraton dan dikerjakan ditempatnya masing-masing.
Lama-lama kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya hanya pakaian keluarga kraton, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik wanita maupun pria. Bahan kain putih yang dipergunakan waktu itu adalah hasil tenunan sendiri.
Sedang bahan-bahan pewarna yang dipakai tediri dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia yang dibuat sendiri antara lain dari: pohon mengkudu, tinggi, soga, nila, dan bahan sodanya dibuat dari soda abu, serta garamnya dibuat dari tanahlumpur.
Jaman Majapahit
Batik yang telah menjadi kebudayaan di kerajaan Majahit, pat ditelusuri di daerah Mojokerto dan Tulung Agung. Mojoketo adalah daerah yang erat hubungannya dengan kerajaan Majapahit semasa dahulu dan asal nama Majokerto ada hubungannya dengan Majapahit. Kaitannya dengan perkembangan batik asal Majapahit berkembang di Tulung Agung adalah riwayat perkembangan pembatikan didaerah ini, dapat digali dari peninggalan di zaman kerajaan Majapahit. Pada waktu itu daerah Tulungagung yang sebagian terdiri dari rawa-rawa dalam sejarah terkenal dengan nama daerah Bonorowo, yang pada saat bekembangnya Majapahit daerah itu dikuasai oleh seorang yang benama Adipati Kalang, dan tidak mau tunduk kepada kerajaan Majapahit.

Diceritakan bahwa dalam aksi polisionil yang dilancarkan oleh Majapahati, Adipati Kalang tewas dalam pertempuran yang konon dikabarkan disekitar desa yang sekarang bernama Kalangbret. Demikianlah maka petugas-petugas tentara dan keluara kerajaan Majapahit yang menetap dan tinggal diwilayah Bonorowo atau yang sekarang bernama Tulungagung antara lain juga membawa kesenian membuat batik asli.
Daerah pembatikan sekarang di Mojokerto terdapat di Kwali, Mojosari, Betero dan Sidomulyo. Diluar daerah Kabupaten Mojokerto ialah di Jombang. Pada akhir abad ke-XIX ada beberapa orang kerajinan batik yang dikenal di Mojokerto, bahan-bahan yang dipakai waktu itu kain putih yang ditenun sendiri dan obat-obat batik dari soga jambal, mengkudu, nila tom, tinggi dan sebagainya.
Obat-obat luar negeri baru dikenal sesudah perang dunia kesatu yang dijual oleh pedagang-pedagang Cina di Mojokerto. Batik cap dikenal bersamaan dengan masuknya obat-obat batik dari luar negeri. Cap dibuat di Bangil dan pengusaha-pengusaha batik Mojokerto dapat membelinya dipasar Porong Sidoarjo, Pasar Porong ini sebelum krisis ekonomi dunia dikenal sebagai pasar yang ramai, dimana hasil-hasil produksi batik Kedungcangkring dan Jetis Sidoarjo banyak dijual. Waktu krisis ekonomi, pengusaha batik Mojoketo ikut lumpuh, karena pengusaha-pengusaha kebanyakan kecil usahanya. Sesudah krisis kegiatan pembatikan timbul kembali sampai Jepang masuk ke Indonesia, dan waktu pendudukan Jepang kegiatan pembatikan lumpuh lagi. Kegiatan pembatikan muncul lagi sesudah revolusi dimana Mojokerto sudah menjadi daerah pendudukan.
Ciri khas dari batik Kalangbret dari Mojokerto adalah hampir sama dengan batik-batik keluaran Yogyakarta, yaitu dasarnya putih dan warna coraknya coklat muda dan biru tua. Yang dikenal sejak lebih dari seabad yang lalu tempat pembatikan didesa Majan dan Simo. Desa ini juga mempunyai riwayat sebagai peninggalan dari zaman peperangan Pangeran Diponegoro tahun 1825.
Meskipun pembatikan dikenal sejak jaman Majapahait namun perkembangan batik mulai menyebar sejak pesat didaerah Jawa Tengah Surakarta dan Yogyakata, pada jaman kerajaan di daerah ini. Hal itu tampak bahwa perkembangan batik di Mojokerto dan Tulung Agung berikutnya lebih dipenagruhi corak batik Solo dan Yogyakarta.
Didalam berkecamuknya clash antara tentara kolonial Belanda dengan pasukan-pasukan pangeran Diponegoro maka sebagian dari pasukan-pasukan Kyai Mojo mengundurkan diri kearah timur dan sampai sekarang bernama Majan. Sejak zaman penjajahan Belanda hingga zaman kemerdekaan ini desa Majan berstatus desa Merdikan (Daerah Istimewa), dan kepala desanya seorang kiyai yang statusnya Uirun-temurun.Pembuatan batik Majan ini merupakan naluri (peninggalan) dari seni membuat batik zaman perang Diponegoro itu.
Warna babaran batik Majan dan Simo adalah unik karena warna babarannya merah menyala (dari kulit mengkudu) dan warna lainnya dari tom. Sebagai batik setra sejak dahulu kala terkenal juga didaerah desa Sembung, yang para pengusaha batik kebanyakan berasal dari Sala yang datang di Tulungagung pada akhir abad ke-XIX. Hanya sekarang masih terdapat beberapa keluarga pembatikan dari Sala yang menetap didaerah Sembung. Selain dari tempat-tempat tesebut juga terdapat daerah pembatikan di Trenggalek dan juga ada beberapa di Kediri, tetapi sifat pembatikan sebagian kerajinan rumah tangga dan babarannya batik tulis.
Jaman Penyebaran Islam
Riwayat pembatikan di daerah Jawa Timur lainnya adalah di Ponorogo, yang kisahnya berkaitan dengan penyebaran ajaran Islam di daerah ini. Riwayat Batik. Disebutkan masalah seni batik didaerah Ponorogo erat hubungannya dengan perkembangan agama Islam dan kerajaan-kerajaan dahulu. Konon, di daerah Batoro Katong, ada seorang keturunan dari kerajaan Majapahit yang namanya Raden Katong adik dari Raden Patah. Batoro Katong inilah yang membawa agama Islam ke Ponorogo dan petilasan yang ada sekarang ialah sebuah mesjid didaerah Patihan Wetan.

Perkembangan selanjutanya, di Ponorogo, di daerah Tegalsari ada sebuah pesantren yang diasuh Kyai Hasan Basri atau yang dikenal dengan sebutan Kyai Agung Tegalsari. Pesantren Tegalsari ini selain mengajarkan agama Islam juga mengajarkan ilmu ketatanegaraan, ilmu perang dan kesusasteraan. Seorang murid yang terkenal dari Tegalsari dibidang sastra ialah Raden Ronggowarsito. Kyai Hasan Basri ini diambil menjadi menantu oleh raja Kraton Solo.
Waktu itu seni batik baru terbatas dalam lingkungan kraton. Oleh karena putri keraton Solo menjadi istri Kyai Hasan Basri maka dibawalah ke Tegalsari dan diikuti oleh pengiring-pengiringnya. disamping itu banyak pula keluarga kraton Solo belajar dipesantren ini. Peristiwa inilah yang membawa seni bafik keluar dari kraton menuju ke Ponorogo. Pemuda-pemudi yang dididik di Tegalsari ini kalau sudah keluar, dalam masyarakat akan menyumbangkan dharma batiknya dalam bidang-bidang kepamongan dan agama.
Daerah perbatikan lama yang bisa kita lihat sekarang ialah daerah Kauman yaitu Kepatihan Wetan sekarang dan dari sini meluas ke desa-desa Ronowijoyo, Mangunsuman, Kertosari, Setono, Cokromenggalan, Kadipaten, Nologaten, Bangunsari, Cekok, Banyudono dan Ngunut. Waktu itu obat-obat yang dipakai dalam pembatikan ialah buatan dalam negeri sendiri dari kayu-kayuan antara lain; pohon tom, mengkudu, kayu tinggi. Sedangkan bahan kainputihnyajugamemakai buatan sendiri dari tenunan gendong. Kain putih import bam dikenal di Indonesia kira-kira akhir abad ke-19.
Pembuatan batik cap di Ponorogo baru dikenal setelah perang dunia pertama yang dibawa oleh seorang Cina bernama Kwee Seng dari Banyumas. Daerah Ponorogo awal abad ke-20 terkenal batiknya dalam pewarnaan nila yang tidak luntur dan itulah sebabnya pengusaha-pengusaha batik dari Banyumas dan Solo banyak memberikan pekerjaan kepada pengusaha-pengusaha batik di Ponorogo. Akibat dikenalnya batik cap maka produksi Ponorogo setelah perang dunia petama sampai pecahnya perang dunia kedua terkenal dengan batik kasarnya yaitu batik cap mori biru. Pasaran batik cap kasar Ponorogo kemudian terkenal seluruh Indonesia.
Batik Solo dan Yogyakarta
Dari kerjaan-kerajaan di Solo dan Yogyakarta sekitamya abad 17,18 dan 19, batik kemudian berkembang luas, khususnya di wilayah Pulau Jawa. Awalnya batik hanya sekadar hobi dari para keluarga raja di dalam berhias lewat pakaian. Namun perkembangan selanjutnya, pleh masyarakat batik dikembangkan menjadi komoditi perdagamgan.

Batik Solo terkenal dengan corak dan pola tradisionalnya batik dalam proses cap maupun dalam batik tulisnya. Bahan-bahan yang dipergunakan untuk pewarnaan masih tetap banyak memakai bahan-bahan dalam negeri seperti soga Jawa yang sudah terkenal sejak dari dahulu. Polanya tetap antara lain terkenal dengan “Sidomukti” dan “Sidoluruh”.
Sedangkan Asal-usul pembatikan didaerah Yogyakarta dikenal semenjak kerajaan Mataram ke-I dengan raj any a Panembahan Senopati. Daerah pembatikan pertama ialah didesa Plered. Pembatikan pada masa itu terbatas dalam lingkungan keluarga kraton yang dikerjakan oleh wanita-wanita pembantu ratu. Dari sini pembatikan meluas pada trap pertama pada keluarga kraton lainnya yaitu istri dari abdi dalem dan tentara-tentara. Pada upacara resmi kerajaan keluarga kraton baik pria maupun wanita memakai pakaian dengan kombonasi batik dan lurik. Oleh karena kerajaan ini mendapat kunjungan dari rakyat dan rakyat tertarik pada pakaian-pakaian yang dipakai oleh keluarga kraton dan ditiru oleh rakyat dan akhirnya meluaslah pembatikan keluar dari tembok kraton.
Akibat dari peperangan waktu zaman dahulu baik antara keluarga raja-raja maupun antara penjajahan Belanda dahulu, maka banyak keluarga-keluarga raja yang mengungsi dan menetap didaerah-daerah baru antara lain ke Banyumas, Pekalongan, dan kedaerah Timur Ponorogo, Tulungagung dan sebagainy a. Meluasny a daerah pembatikan ini sampai kedaerah-daerah itu menurut perkembangan sejarah perjuangan bangsa Indonesia dimulai abad ke-18. Keluarga-keluarga kraton yang mengungsi inilah yang mengembangkan pembatikan seluruh pelosok pulau Jawa yang ada sekarang dan berkembang menurut alam dan daerah baru itu.
Perang Pangeran Diponegoro melawan Belanda, mendesak sang pangeran dan keluarganya serta para pengikutnya harus meninggalkan daerah kerajaan. Mereka kemudian tersebar ke arah Timur dan Barat. Kemudian di daerah-daerah baru itu para keluarga dan pengikut pangeran Diponegoro mengembangkan batik.
Ke Timur batik Solo dan Yogyakarta menyempurnakan corak batik yang telah ada di Mojokerto serta Tulung Agung. Selain itu juga menyebar ke Gresik, Surabaya dan Madura. Sedang ke arah Barat batik berkem-bang di Banyumas, Pekalongan, Tegal, Cirebon.
Perkembangan Batik di Kota-kota lain
Perkembangan batik di Banyumas berpusat di daerah Sokaraja dibawa oleh pengikut-pengikut Pangeran Diponegero setelah selesa-inya peperangan tahun 1830, mereka kebanyakan menet-ap didaerah Banyumas. Pengikutnya yang terkenal waktu itu ialah Najendra dan dialah mengembangkan batik celup di Sokaraja. Bahan mori yang dipakai hasil tenunan sendiri dan obat pewama dipakai pohon tom, pohon pace dan mengkudu yang memberi warna merah kesemuan kuning.

Lama kelamaan pembatikan menjalar pada rakyat Sokaraja dan pada akhir abad ke-XIX berhubungan langsung dengan pembatik didaerah Solo dan Ponorogo. Daerah pembatikan di Banyumas sudah dikenal sejak dahulu dengan motif dan wama khususnya dan sekarang dinamakan batik Banyumas. Setelah perang dunia kesatu pembatikan mulai pula dikerjakan oleh Cina disamping mereka dagang bahan batik. .
Sama halnya dengan pembatikan di Pekalongan. Para pengikut Pangeran Diponegoro yang menetap di daerah ini kemudian mengembangkan usaha batik di sekitara daerah pantai ini, yaitu selain di daerah Pekalongan sendiri, batik tumbuh pesat di Buawaran, Pekajangan dan Wonopringgo. Adanya pembatikan di daerah-daerah ini hampir bersamaan dengan pembatikan daerah-daerah lainnya yaitu sekitar abad ke-XIX. Perkembangan pembatikan didaerah-daerah luar selain dari Yogyakarta dan Solo erat hubungannya dengan perkembangan sejarah kerajaan Yogya dan Solo.
Meluasnya pembatikan keluar dari kraton setelah berakhirnya perang Diponegoro dan banyaknya keluarga kraton yang pindah kedaerah-daerah luar Yogya dan Solo karena tidak mau kejasama dengan pemerintah kolonial. Keluarga kraton itu membawa pengikut-pengikutnya kedaerah baru itu dan ditempat itu kerajinan batik terus dilanjutkan dan kemudian menjadi pekerjaan untuk pencaharian.
Corak batik di daerah baru ini disesuaikan pula dengan keadaan daerah sekitarnya. Pekalongan khususnya dilihat dari proses dan designya banyak dipengaruhi oleh batik dari Demak. Sampai awal abad ke-XX proses pembatikan yang dikenal ialah batik tulis dengan bahan morinya buatan dalam negeri dan juga sebagian import. Setelah perang dunia kesatu baru dikenal pembikinan batik cap dan pemakaian obat-obat luar negeri buatan Jerman dan Inggris.
Pada awal abad ke-20 pertama kali dikenal di Pekajangan ialah pertenunan yang menghasilkan stagen dan benangnya dipintal sendiri secara sederhana. Beberapa tahun belakangan baru dikenal pembatikan yang dikerjakan oleh orang-orang yang bekerja disektor pertenunan ini. Pertumbuhan dan perkembangan pembatikan lebih pesat dari pertenunan stagen dan pernah buruh-buruh pabrik gula di Wonopringgo dan Tirto lari ke perusahaan-perusahaan batik, karena upahnya lebih tinggi dari pabrik gula.
Sedang pembatikan dikenal di Tegal akhir abad ke-XIX dan bahwa yang dipakai waktu itu buatan sendiri yang diambil dari tumbuh-tumbuhan: pace/mengkudu, nila, soga kayu dan kainnya tenunan sendiri. Warna batik Tegal pertama kali ialah sogan dan babaran abu-abu setelah dikenal nila pabrik, dan kemudian meningkat menjadi warna merah-biru. Pasaran batik Tegal waktu itu sudah keluar daerah antara lain Jawa Barat dibawa sendiri oleh pengusaha-pengusaha secara jalan kaki dan mereka inilah menurut sejarah yang mengembangkan batik di Tasik dan Ciamis disamping pendatang-pendatang lainnya dari kota-kota batik Jawa Tengah.
Pada awal abad ke-XX sudah dikenal mori import dan obat-obat import baru dikenal sesudah perang dunia kesatu. Pengusaha-pengusaha batik di Tegal kebanyakan lemah dalam permodalan dan bahan baku didapat dari Pekalongan dan dengan kredit dan batiknya dijual pada Cina yang memberikan kredit bahan baku tersebut. Waktu krisis ekonomi pembatik-pembatik Tegal ikut lesu dan baru giat kembali sekitar tahun 1934 sampai permulaan perang dunia kedua. Waktu Jepang masuk kegiatan pembatikan mati lagi.
Demikian pila sejarah pembatikan di Purworejo bersamaan adanya dengan pembatikan di Kebumen yaitu berasal dari Yogyakarta sekitar abad ke-XI. Pekembangan kerajinan batik di Purworejo dibandingkan dengan di Kebumen lebih cepat di Kebumen. Produksinya sama pula dengan Yogya dan daerah Banyumas lainnya.
Sedangkan di daerah Bayat, Kecamatan Tembayat Kebumen-Klaten yang letaknya lebih kurang 21 Km sebelah Timur kota Klaten. Daerah Bayat ini adalah desa yang terletak dikaki gunung tetapi tanahnya gersang dan minus. Daerah ini termasuk lingkungan Karesidenan Surakarta dan Kabupaten Klaten dan riwayat pembatikan disini sudah pasti erat hubungannya dengan sejarah kerajaan kraton Surakarta masa dahulu. Desa Bayat ini sekarang ada pertilasan yang dapat dikunjungi oleh penduduknya dalam waktu-waktu tertentu yaitu “makam Sunan Bayat” di atas gunung Jabarkat. Jadi pembatikan didesa Bayat ini sudah ada sejak zaman kerjaan dahulu. Pengusaha-pengusaha batik di Bayat tadinya kebanyakan dari kerajinan dan buruh batik di Solo.
Sementara pembatikan di Kebumen dikenal sekitar awal abad ke-XIX yang dibawa oleh pendatang-pendatang dari Yogya dalam rangka dakwah Islam antara lain yang dikenal ialah: PenghuluNusjaf. Beliau inilah yang mengembangkan batik di Kebumen dan tempat pertama menetap ialah sebelah Timur Kali Lukolo sekarang dan juga ada peninggalan masjid atas usaha beliau. Proses batik pertama di Kebumen dinamakan teng-abang atau blambangan dan selanjutnya proses terakhir dikerjakan di Banyumas/Solo. Sekitar awal abad ke-XX untuk membuat polanya dipergunakan kunir yang capnya terbuat dari kayu. Motif-motif Kebumen ialah: pohon-pohon, burung-burungan. Bahan-bahan lainnya yang dipergunakan ialah pohon pace, kemudu dan nila tom.
Pemakaian obat-obat import di Kebumen dikenal sekitar tahun 1920 yang diperkenalkan oleh pegawai Bank Rakyat Indonesia yang akhimya meninggalkan bahan-bahan bikinan sendiri, karena menghemat waktu. Pemakaian cap dari tembaga dikenal sekitar tahun 1930 yang dibawa oleh Purnomo dari Yogyakarta. Daerah pembatikan di Kebumen ialah didesa: Watugarut, Tanurekso yang banyak dan ada beberapa desa lainnya.
Dilihat dengan peninggalan-peninggalan yang ada sekarang dan cerita-cerita yang turun-temurun dari terdahulu, maka diperkirakan didaerah Tasikmalaya batik dikenal sejak zaman “Tarumanagara” dimana peninggalan yang ada sekarang ialah banyaknya pohon tarum didapat disana yang berguna un-tuk pembuatan batik waktu itu. Desa peninggalan yang sekarang masih ada pembatikan dikerja-kan ialah: Wurug terkenal dengan batik kerajinannya, Sukapura, Mangunraja, Maronjaya dan Tasikmalaya kota.
Dahulu pusat dari pemerintahan dan keramaian yang terkenal ialah desa Sukapura, Indihiang yang terletak dipinggir kota Tasikmalaya sekarang. Kira-kira akhir abad ke-XVII dan awal abad ke-XVIII akibat dari peperangan antara kerajaan di Jawa Tengah, maka banyak dari penduduk daerah: Tegal, Pekalongan, Ba-nyumas dan Kudus yang merantau kedaerah Barat dan menetap di Ciamis dan Tasikmalaya. Sebagian besar dari mereka ini adalah pengusaha-pengusaha batik daerahnya dan menuju kearah Barat sambil berdagang batik. Dengan datangnya penduduk baru ini, dikenallah selanjutnya pembutan baik memakai soga yang asalnya dari Jawa Tengah. Produksi batik Tasikmalaya sekarang adalah campuran dari batik-batik asal Pekalongan, Tegal, Banyumas, Kudus yang beraneka pola dan warna.
Pembatikan dikenal di Ciamis sekitar abad ke-XIX setelah selesainya peperangan Diponegoro, dimana pengikut-pengikut Diponegoro banyak yang meninggalkan Yogyakarta, menuju ke selatan. Sebagian ada yang menetap didaerah Banyumas dan sebagian ada yang meneruskan perjalanan ke selatan dan menetap di Ciamis dan Tasikmalaya sekarang. Mereka ini merantau dengan keluargany a dan ditempat baru menetap menjadi penduduk dan melanjutkan tata cara hidup dan pekerjaannya. Sebagian dari mereka ada yang ahli dalam pembatikan sebagai pekerjaan kerajinan rumah tangga bagi kaum wanita. Lama kelamaan pekerjaan ini bisa berkembang pada penduduk sekitarnya akibat adanya pergaulan sehari-hari atau hubungan keluarga. Bahan-bahan yang dipakai untuk kainnya hasil tenunan sendiri dan bahan catnya dibuat dari pohon seperti: mengkudu, pohon tom, dan sebagainya.
Motif batik hasil Ciamis adalah campuran dari batik Jawa Tengah dan pengaruh daerah sendiri terutama motif dan warna Garutan. Sampai awal-awal abad ke-XX pembatikan di Ciamis berkembang sedikit demi sedikit, dari kebutuhan sendiri menjadi produksi pasaran. Sedang di daerah Cirebon batik ada kaintannya dengan kerajaan yang ada di aerah ini, yaitu Kanoman, Kasepuahn dan Keprabonan. Sumber utama batik Cirebon, kasusnya sama seperti yang di Yogyakarta dan Solo. Batik muncul lingkungan kraton, dan dibawa keluar oleh abdi dalem yang bertempat tinggal di luar kraton. Raja-raja jaman dulu senang dengan lukisan-lukisan dan sebelum dikenal benang katun, lukisan itu ditempatkan pada daun lontar. Hal itu terjadi sekitar abad ke-XIII. Ini ada kaitannya dengan corak-corak batik di atas tenunan. Ciri khas batik Cirebonan sebagaian besar bermotifkan gambar yang lambang hutan dan margasatwa. Sedangkan adanya motif laut karena dipengaruhioleh alam pemikiran Cina, dimana kesultanan Cirebon dahulu pernah menyunting putri Cina. Sementra batik Cirebonan yang bergambar garuda karena dipengaruhi oleh motif batik Yogya dan Solo.


http://solobatik.athost.net/sejarah.php

Batik Jogja

Batik Warna Alam, Etnik dan Eksklusif
Hari batik 2011 ditandai dengan semaraknya pameran warisan budaya nusantara ini di berbagai kota Jawa dan Madura. Di Jakarta dirayakan dengan Summit Batik dan di Yogyakarta pameran digelar di beberapa lokasi,seperti eks hotel Tugu, Puro Pakualaman,Pusat Kebuadayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PPLH) UGM. Paguyuban Pecinta Batik Indonesia Sekar Jagad ambil peranan penting dalam gelar batik ini.
Di Yogyakarta,masyarakat perbatikan mengemas pameran peragaan busana dan demo batik ini di PKKH UGM dengan dominasi warna-warna alam. Menurut ketua umum Paguyuban Pecinta batik Indonesia Sekar jagad Ir Dra larasati Suliantoro gegap gempita hari Batik ini untuk menunjukkan Yogyakarta sebagai pusat tradisi batikdunia.
Sengaja pameran dan peragaan busana batik mengangkat warna alam karena rancangan busana maupun kain batik yang menggunakan zat warna alam memiliki nilai jual atau nilai ekonomi tinggi. Batik warna alam memiliki nilai seni dan warna khas,ramah lingkungan sehingga berkesan etnik dan eksklusif. Dengan warna alam batik menjadi unik dan sejuk,tidak mencolok indah dipandang. Zat pewarna alam untuk bahan tekstil pada umumnya diperoleh dari hasil ekstrak berbagai bagian tumbuhan seperti akar,kayu,daun,biji maupun bunga. Para perajin batik telah banyak mengenal tumbuh-tumbuhan yang dapat mewarnai bahan tekstil beberapa diantaranya: daun pohon nila (indofera),daun pohon soga tinggi (Ceriops candolleana arn) kayu tegeran (Cudraina Javanensis). Disamping itu kunyit atau (curcuma),teh (tea),akar mengkudu (Morinda citrifelia),kulit soga jambal (Pelthophorum ferruginum),kesumba (Bixa orelana),daun jambu biji (Psidium Guajava) juga bisa menjadi bahan alam batik. Mori yang diwarnai zat warna alam berasal dari serat alam seperti sutera,wol,kapas (katun). Mori dengan zat warna alam berasal dari serat alam seperti sutera,wol,kapas (katun). Mori dari serat sintetis seperti polyester,nilon dan lainnya tidak memiliki afinitas (daya serap) terhadap zat warna alam.
Dengan demikian zat warna alam tidak bisa menempel dan meresap di mori sintetis tersebut. Bahan dari sutera pada umumnya memiliki sifat afinitas paling bagus terhadap zat warna alam dibandingkan dengan bahan dari kapas.
Peragaan busana batik bahan alam yang melibatkan mahasiswa ini memang menampilkan warna sejuk dominasi biru muda atau biru laut untuk berbagai keperluan,pesta,tamasya maupun busana santai untuk belanja. Pertanyaan yang muncul diantara pemirsa padu peragaan busana adiluhur ini,padu padankah kalau busana batik dengan warna-warna kalem dipadukan dengan bahan jeans?

http://www.batikyogyakarta.com/batik-warna-alametnik-dan-ekslusif/

Minggu, 16 Oktober 2011

Batik Cirebon

Sejarah Batik Cirebon

Konon, keterampilan membatik masyarakat Cirebon bermula dari tangan dingin Ki Gede Trusmi. Selain menyebarkan agama Islam, anak buah Sunan Gunung Jati ini juga mengajarkan keterampilan membatik. Sementara itu pengaruh budaya Cina pada motif-motifnya bermula dari pernikahan Sunan Gunung Jati dengan Ong Tien. Wanita dari Cina tersebut membawa pernak-pernik berbau Cina yang menginspirasi pembatik untuk menuangkannya dalam motif-motif batik.
Ada dua jenis batik Cirebon, yaitu batik Keraton atau klasik, yang tumbuh dan berkembang di dalam lingkungan keraton Kanoman dan Kesepuhan. Serta batik Cirebon Pesisiran. Karakter orang-orang pelabuhan yang bersikap terbuka terhadap pengaruh asing turut mempengaruhi motif dan warna pada batik Cirebon Pesisiran.
Batik Cirebon
2. Warna
Ciri Batik klasik Cirebon yaitu warna dasar kain lebih muda daripada warna garis pada motif utamanya. Batik klasik Cirebon umumnya memiliki warna kuning (sogan gosok), hitam, dan berwarna dasar krem. Atau bisa juga berwarna biru tua, merah tua, dengan warna dasar kain putih gading atau krem.
Sementara itu, ada jenis batik Cirebon Pesisiran yang memakai warna-warna yang lebih berani, terang, dan mencolok. Latar kain biasanya bersih dari noda warna yang tidak dikehendaki pada saat proses pewarnaan.
Batik Cirebon
3. Motif Batik Cirebon
Pada batik klasik, biasanya terdapat motif wadasan, atau batu cadas di bagian-bagian tertentu. Demikian juga dengan ragam hias berbentuk awan, turut menjadi bagian yang menjadi ciri khas pada batik Cirebon.
Garis-garis pada motif umumnya menggunakan garis tunggal yang tipis. 0,5 milimeter saja, dan berwarna lebih tua dari warna kain latar.
Macam motif klasik batik Cirebon diantaranya adalah Mega Mendung, Liman, Paksinaga, Banjar Balong, Singa Payung, Singa Barong, Patran Keris, dan Ayam Alas. Sementara jenis batik Pesisiran Cirebon antara lain motif Kapal Kompeni, Pekalis, Penari Cina, Semarangan, Burung Gelatik dan masih banyak lagi.

http://batikindonesia.com/batik/category/motif-batik/batik-cirebon